Pajak penghasilan pasal 21 atau PPh Pasal 21 adalah pajak penghasilan yang dikenakan kepada penerima penghasilan orang pribadi. Oleh karena itu, PPh 21 juga dikenal sebagai PPh orang pribadi.
Berdasarkan PER-16/PJ/2016 pengertian PPh pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
PPh Pasal 21 dikenakan menggunakan mekanisme pemotongan, dimana PPh terutang akan dipotong oleh pemberi kerja atau pemberi penghasilan.
Simak informasi berikut untuk mengetahui lebih lengkap tentang PPh Pasal 21.
Pemotong PPh 21
Pemotong PPh pasal 21, meliputi:
- Pemberi kerja yang terdiri dari:
- orang pribadi;
- badan; atau
- cabang, perwakilan, atau unit, dalam hal yang melakukan sebagian atau seluruh administrasi pembayaran gaji, upah, dan pembayaran lain adalah cabang, perwakilan, atau unit tersebut.
- Bendahara atau Instansi pemerintah
- Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua;
- Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan atau kepada peserta pendidikan dan pelatihan, serta pegawai magang;
- Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan kepada Wajib Pajak orang pribadi berkenaan dengan suatu kegiatan.
Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak adalah:
- Kantor perwakilan negara asing;
- Organisasi-organisasi internasional yang ditunjuk menteri keuangan yang tidak termasuk subjek Pajak Penghasilan;
- Organisasi-organisasi internasional yang ketentuan Pajak Penghasilannya didasarkan pada ketentuan perjanjian internasional dan dalam perjanjian internasional tersebut mengecualikan kewajiban pemotongan pajak, serta organisasi-organisasi dimaksud telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
- Pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Objek PPh 21
PPh pasal 21 dikenakan atas penghasilan yang diperoleh orang pribadi yang merupakan:
- Pegawai;
- penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya;
- Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa.
- anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama.
- mantan pegawai; dan/atau
- peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan.
Mekanisme pemotongan PPh Pasal 21
Terdapat beberapa jenis mekanisme pemotongan PPh pasal 21. Mekanisme tersebut berdasarkan jenis penerima penghasilan dan jenis penghasilan yang diterima. Mekanisme pemotongan PPh 21 antara lain:
- PPh 21 Pegawai tetap.
- PPh 21 Pegawai Tidak tetap.
- PPh 21 Bukan Pegawai.
- PPh 21 Peserta Kegiatan, Dewan Komisaris, dan Mantan Pegawai.
- PPh 21 Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, POLRI, dan Pensiunannya.
Saat terutang PPh
PPh 21 terutang bagi pemotong untuk setiap masa pajak. Saat terutang untuk setiap masa pajak tersebut adalah pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan.
Saat penyetoran dan pelaporan
PPh 21 yang telah dipotong oleh pemotong wajib disetorkan ke kas negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Apabila batas waktu tersebut bertepatan dengan hari libur (termasuk Sabtu, Minggu, dan hari libur nasional), Maka penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Pemotong PPh Pasal 21 juga wajib melaporkan pemotongan dan penyetoran yang telah dilakukan. Pelaporan tersebut dilakukan dengan menggunakan SPT Masa PPh 21. Pelaporan SPT Masa PPh 21 tersebut paling lambat dilaporkan pada tanggal 20 bulan berikutnya.
Apabila batas waktu tersebut bertepatan dengan hari libur (termasuk Sabtu, Minggu, dan hari libur nasional), Maka pelaporan SPT Masa PPh 21 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Terhadap SPT Masa PPh 21 Nihil yang terjadi karena tidak terdapat pemotongan PPh 21 dan seluruh pegawai memiliki penghasilan dibawah PTKP (bukan nihil karena terdapat kompensasi, fasilitas atau SKB), SPT Masa PPh 21 tersebut tidak wajib dilaporkan kecuali Masa Pajak Desember.
Bukti potong 1721
Pemotong PPh pasal 21 harus memberikan bukti potong (bukti potong 1721) kepada orang pribadi penerima penghasilan atas pemotongan yang dilakukan. Bukti potong tersebut paling lambat diberikan ke penerima penghasilan 1 bulan setelah tahun berakhir (akhir bulan januari) untuk pegawai tetap atau penerima pension berkala.
Selain pegawai tetap dan penerima pension berkala, bukti potong harus diberikan untuk setiap dilakukannya pemotongan. Dalam hal terdapat lebih dari satu kali pemotongan untuk penerima penghasilan yang sama, bukti potong (bukti potong 1721) dapat dibuat sekali untuk satu bulan.
Bukti potong 1721 tersebut kemudian akan digunakan oleh penerima penghasilan (orang pribadi) sebagai dasar kredit pajak. Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong merupakan kredit pajak bagi penerima penghasilan yang dikenakan pemotongan untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final. Bukti potong 1721 tersebut kemudian dilaporkan pada SPT Tahunan orang pribadi.